Syukurku makin dalam karena Allah menitipkan aku pada orang tua seperti ibuku. Begitu banyak kebaikan kian tak terhitung yang diberikan ibu untukku. Kasih sayangnya seolah takkan pernah habis untuk dibagi kepada keluarganya.
Teringat suatu hari di libur semester lalu. Aku diminta menemani ibuku pergi ke sebuah bank. Bank negeri yang tak semua nasabahnya orang berpendidikan dan beretika baik. Aku menemani ibu duduk di bangku antrian. Tak berapa lama ada seorang ibu yang mengantri di belakang kami berteriak kasar memanggil anaknya yang berada di depan tempat sampah. " Amad, sinih! jangan main di situ, Dasar anak jorok!.” Aku tentu saja kaget dan refleks menoleh ke belakang. Tampak olehku seorang ibu dengan wajah kesal.
Anaknya itu, mencoba menghampiri ibunya. Ia berpakaian seragam TK, berbadan agak gemuk, dan terlihat seperti anak dengan IQ terbelakang. Ia hanya berjalan lunglai sekenanya. Kini ia ada di samping ibuku yang ada di depan ibunya. Tiba-tiba ibunya menarik tangan anak itu dengan sangat kasar. “Sini luh! Dasar anak jorok! Masih kurang kenyang apah?”. Belum sampai di situ ibu itu lalu memelintir pergelangan dan jari-jari anak itu sampai bunyi ‘kretek’. ‘Astagfirullahaladziim,..’ jeritku dalam hati. Tega sekali ibu ini. Tentu saja anak itu menangis keras dan mengundang perhatian banyak nasabah lain. Anak itu terus menangis dan terduduk di lantai menahan rasa sakit. Bukannya iba, ibu itu malah mencubit dengan cubitan besar lengan anak itu. “Udah bangun! Jangan manja! Siapa yang mau manjain kamu!” teriaknya lagi. Esshh,.. badanku terasa ngilu. Ibu ini tega sekali.
“Udah bu,.. Jangan kaya gitu,.. Kasian anaknya.,” kata ibuku sambil mencoba membangunkan anak itu. ”Ayo sayang, bangun! Jangan di lantai,.. Nanti bajunya kotor... Nanti ibunya jadi marah,.. Ayo bangun!”. Anak itu agak susah untuk bangun karena badannya agak gemuk. Tapi ia tetap mencoba dan akhirnya ia bisa bangun. Setelah berdiri ia memasukkan jari telunjuk ke mulutnya dan ibunya marah lagi. “Dasar anak jorok! Abis megang sampah main masukin aja tanagn ke mulut! Ibu hajar kamu nanti!”. Anak itu menurut tapi lalu ia memasukkannya lagi. Ku fikir seperti ada sisa makanan menyelip di gigi dan ia ingin membersihkannnya. “Hei, jangan dimasukkin ke mulut tanggannya,.. itu ada kumannya, nanti kamu bisa sakit,..” Anak itu menuruti apa kata ibuku, ia menurunkan tangannya.
Tak lama kemudian ibunya membersihkan tangan anak itu dengan sapu tangan yang dibasahi sambil bersungut-sungut, ”Udah jajan apa aja diturutin, tapi tangan masih aja diemut-emut! Masih kurang kenyang apah?!”. ”Udah duduk sini!,” kata ibunya sambil menepuk-nepuk bangku di sebelahnya. Anak itupun menurut.
Ketika ibuku sedang mengecek buku tabungannya, tiba tiba Amad muncul di sampingnya, mencoba mencari perhatian kami (aku dan ibuku). Ia tersenyum lugu, kami hanya membalasnya hanya dengan senyuman lagi. Ia benar-benar mencoba mencari perhatian. Mondar-mandir saja dan menarik-narik kursi di depan kami. Ia mencoba mengajak bicara, tapi tidak jelas. Kamipun hanya mengangguk dan tersenyum.
Dari ibunya diketahui bahwa ternyata anak itu berumur 6 tahun tapi kini ia masih duduk di bangku TK. Ia terlambat sekolah karena mengalami kesulitan bicara sejak kecil. Aku memandanginya dengan iba. ’Alhamdulillah aku dilahirkan seperti ini,..’ kataku dalam hati.
Selama di bank kemana ibuku pergi ia selalu ingin membuntutinya. Menulis rekening dan bertransaksipun ia ikuti. Ia bicara panjang sambil sesekali tertawa di depan ibuku, seperti sedang bercerita ku fikir. Ibuku hanya mengiyakan saja sambil sesekali tersenyum.
Alhamdulillah Ya Allah,.. Engkau memberiku nikmat yang baru ku sadari selama ini. Engkau menegur hamba-Mu dengan berbagai cara. Hari itu aku banyak belajar tentang makna bersyukur. Terimakasih Ya Allah,..
Aku dan Amad memang sama-sama masih memiliki ibu. Tapi pola asuh ibu kami berbeda. Walau kadang aku merasa kesal karena dimarahi ibu, tapi dari banyak belajar aku tahu bahwa niat ibu marah bukanlah untuk jahat padaku tapi agar aku jadi manusia yang lebih baik. Wallahu a’lam bis shawab.