Minggu, 11 Juli 2010

Injeksi Pelarut Air

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum ini adalah
Dapat melaksanaan praktikum teknologi sediaan steril dalam bentuk sediaan injeksi.
Dapat menyusun hasil pengkajian praformulasi bahan aktif untuk sediaan tinjeksi
Dapat membuat rekomendasi untuk desain komponen sediaan, proses pembuatan dan evaluasi sediaan injeksi
Dapat menyusun desain formula pembuatan dan evaluasi injeksi dari hasil pengkajian praformulasi
Dapat melaksanakan pembuatan sediaan injeksi
Dapat melaksanakan evaluasi sediaan injeksi
Dapat membuat sediaan yang memenuhi syarat resmi

I.2. Tujuan Formulasi Sediaan
Formulasi sediaan disusun berdasarkan zat aktif yang digunakan, sehingga perlu diperhatikan ada atau tidaknya interaksi yang terjadi dengan zat tambahan yang digunakan agar obat/sediaan dapat digunakan secara efektif dan dapat memenuhi syarat-syarat resmi.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. ( FI III, hal 13 )

 Penggolongan
Sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda yaitu Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, ditandai dengan nama Injeksi …..
1. Sediaan padat, kering, atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer, atau bahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya disebut …. steril.
2. Sediaan seperti tertera pada 2, tetapi mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan dapat dibedakan dari nama bentuknya, disebut …. untuk injeksi.
3. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara iv atau ke dalam saluran spinal, dan dapat dibedakan dari nama bentuknya, disebut Suspensi …. Steril.
4. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai, dibedakan dengan nama … steril untuk suspensi.
(FI IV, hal 9-10)

 Keuntungan dan Kerugian Sediaan Injeksi
Keuntungan
• Dapat dicapai efek fisiolgis segera, untuk kondisi penyakit tertentu (Jantung berhenti)
• Dapat diberikan untuk sediaan yang tidak efektif diberikan secara oral (tidak tahan asam lambung)
• Baik untuk penderita yang tidak memungkinkan mengkonsumsi oral (Sakit jiwa atau tidak sadar)
• Pemberian parenteral memberikan kemungkinan bagi dokter untuk mengontrol obat, karena pasien harus kembali melakukan pengobatan
• Sediaan parenteral dapat menimbulkan efek lokal seperti pada kedokteran gigi/anastesiologi
• Pengobatan parenteral merupakan salah satu cara untuk mengoreksi ganggun serius cairan dan keseimbangn elektrolit
Kerugian
• Pemberian sediaan parenteral harus dilakukan oleh personel yang terlatih dan membutuhkan waktu pemberian yang lebih lama
• Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan prosedur aseptik dengan rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu dapat dihindari
• Bila obat telah diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada dalam sirkulasi sistemik
• Harganya relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan pengemasan
• Masalah lain dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral seperti septisema, infeksi jamur, inkompatibilias karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi obat
• Persyaratan sediaan parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikel partikulat, bebas dari pirogen, dan stabilitas sediaan parenteral harus disadari oleh semua personel yang terlibat.

 Indikasi pemakaian rute parenteral: (Lachman, 18)
• Meyakinkan penyampaian konsentrasi obat yang mencukupi ke bagian tubuh/ jaringan sakit.
• Untuk mencapai parameter farmakologi tertentu yang terkontrol, seperti waktu onset, serum peak, kecepatan eliminasi obat dari dalam tubuh.
• Untuk pasien yang tidak bisa melakukan self medicate
• Untuk mendapatkan efek biologik yang tidak didapatkan melalui pemakaian oral
• Untuk alternatif bila rute yang diharapkan (oral) tidak tersedia
• Untuk mendapatkan efek lokal, untuk meminimalkan efek toxic sistemik
• Untuk pasien yang tidak sadar, tidak kooperatif, tidak terkontrol
• Untuk pengobatan ketidakseimbangan elektrolit dan cairan untuk supply nutrisi jangka panjang/pendek
• Untuk mendapatkan efek lokal yang diharapkan

Faktor farmasetikal yang berpengaruh pada pemakaian parenteral: (Lachman, 19)
• Kelarutan obat dan volume injeksi
• Karakteristik pembawa
• pH dan osmolalitas larutan injeksi
• bentuk dosage term
• formulation ingredient (eksipien)

 Bentuk-Bentuk Sediaan Parenteral (Codex hal 94-95)
1. Larutan Air
Merupakan bentuk yang paling sederhana dan banyak digunakan. Bentuk larutan air dapat digunakan untuk semua rute pemberian.
2. Suspensi air
Suspensi biasanya diberikan dalam rute intramuskular dan subkutan. Suspensi tidak pernah diberikan secara intravena, intraarteri, inraspinal, inracardiac, atau injeksi optalmik. Partikel pada pada suspensi harus kecil dn distribusi ukuran partikel harus dikontrol untuk meyakinkan partikel dapat melewati jarum suntik. Ukuran partikel suspensi biasanya kecil dan distribusi ukuran paetikel harus dikontrol untuk meyakinkan partikel dapat melewati jarum suntik saat pemberian, ukuran paetikel tidak boleh meningkat dan tidak terjadi caking saat penyimpanan.
3. Suspensi Minyak
Injeksi suspensi bisa juga dibuat dalam pembawa minyak, meskipun pembuatannya lebih
jarang dibanding suspensi air. Suspensi minyak dapat menimbulkan efek depot/lepas lambat pada rute pemberian IM.
4. Injeksi Minyak
Senyawa yang bersifat lip
ofilik banyak yang dibuat dalam bentuk injeksi minyak. Sediaan ini secara umum digunakan dengan rute IM, dan pada keadaan normal tidak digunakan untuk rute lain.
5. Emulsi
Zat yang bersifat lipofilik juga dapat dibuatdalam bentuk emulsi o/w. Zat dapat dilarutkan dalam larutan minyak atau zatnya sendiri sudah benbentuk minyak. Droplet minyak harus dikontrol dengan hati-hati dan pada saat penyimpanan emulsi tidak akan pecah. Ukuran droplet ideal 3 mikrometer. Biasanya dalam bentuk nutrisi parenteral.
5. Larutan Koloidal
6. Sistem pelarut campur
Banyak kondisi klinik dimana penting suatu zat dibuat dalam bentuk larutan sejati, agar siap bercampur dengan larutan IV ketika diberikan. Untuk zat yang sukar larut dalam air, maka selain digunakan dalam bentuk garam atau diformulasi dalam pH tinggi atau rendah, beberapa zat dapat pula diformulasi dalam pelarut campur. Kosolvent digunakan untuk menurunkan polaritas pembawa sehingga zat lebih larut. Pemilihan kosolvent terbatas oleh toksitas.
7. Larutan terkonsentrasi
8. Serbuk untuk injeksi
Beberapa zat yang tidak stabil dalam air, sehingga dibuat dalam bentuk serbuk untuk injeksi. Sediaan ini bisa berupa serbuk ‘dry filled’ atau serbuk liofilisasi (‘freeze dried’).
10. Implant

 Formula Umum Sediaan Injeksi
R/ Zat aktif
Pembawa
Zat tambahan
Zat tambahan ini dapat berupa :
• Pengatur tonisitas
• Pengatur pH ( dapar )
• Pengawet
• Antioksidan
• Anestetik lokal
• Zat pengompleks
• Suspending agent

1. Zat Aktif
Data zat aktif yang diperlukan (Preformulasi)
a. Kelarutan (Buku Penuntun Praktikum Benny Logawa hal 9)
Terutama data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan, karena bentuk larutan air paling dipilih pada pembuaan sediaan steril. Data kelarutan ini diperlukan untuk menentukan bentuk sediaan. Zat aktif yang larut air membentuk sediaan larutan dalam air, zat aktif yang larut minyak dibuat larutan dalam pembawa minyak. Sedangkan zat yang tidak larut dalam kedua pembawa tersebut dibuat sediaan suspensi.
Jika zat aktif tidak larut dalam air ada beberapa alternatif yang dapat diambil sebelum memutuskan untuk membuat sediaan suspensi atau larutan minyak yaitu dengan mencari bentuk garam dari zat aktif, melakukan reaksi penggaraman, atau dicari bentuk kompleksnya.
b. pH stabilita (Buku Penuntun Praktikum Benny Logawa hal 10)
pH stabilita adalah pH dimana penguraian zat aktif paling minimal, sehingga diharapkan kerja farmakologinya optimal. pH stabilita dicapai dengan menambahkan asam encer, basa lemah atau dapar.
c. Stabilitas zat aktif (Buku Penuntun Praktikum Benny Logawa hal 11)
Data ini membantu menentukan jenis sediaan, jenis bahan pembawa, metoda sterilisasi atau cara pembuatan. Beberapa factor yang mempengaruhi penguraian zat aktif adalah:
1. Oksigen (Oksidasi)
Pada kasus ini, setelah air dididihkan maka perlu dialiri gas nitrogen dan ditambahkan antioksidan.
2. Air (Hidrolisis)
Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih alternatif :
- Dibuat pH stabilitanya dengan penambahan asam/basa atau buffer
- Memilih jenis pelarut dengan polaritas lebih rendah daripada air, seperti campuran pelarut air-gliserin-propilenglikol atau pelarut campur lainnya.
- Dibuat dalam bentuk kering dan steril yang dilarutkan saat disuntikkan.
3. Suhu
Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi tahan panas, seperti filtrasi
4. Cahaya
Pengaruh cahaya matahari dihindari dengan penggunaan wadah berwarna cokelat.
d. Tak tersatukannya zat aktif , Baik ditinjau dari segi kimia, fisika, atau farmakologi.
e. Dosis, Data ini menentukan tonisitas larutan dan cara pemberian.
f. Rute pemberian (Lachman Parenteral, 1992, hal:174)
Rute pemberian yang akan digunakan akan berpengaruh pada formulasi, dalam hal:
1. Volume maksimal sediaan yang dapat diberikan pada rute tersebut (Lihat datanya pada bagian rute pemberian).
2. Pemilihan pelarut disesuaikan dengan rute pemberian
3. Isotonisitas dari sediaan juga dipengaruhi oleh rute pemberian. Pada larutan intravena isotonisitas menjadi kurang penting selama pemberian dilakukan dengan perlahan untuk memberikan waktu pengenceran dan ’adjust’ oleh darah. Injeksi intraspinal mutlak harus isotonis.

2. Bahan Pembawa Obat suntik
Bahan pembawa injeksi dapat berupa air maupun non air
Pembawa Air
Sebagian besar produk parenteral menggunakan pembawa air. Hal tersebut dikarenakan kompatibilitas air dengan jaringan tubuh, dapat digunakan untuk berbagai rute pemberian, air mempunyai konstanta dielektrik tinggi sehingga lebih mudah untuk melarutkan elektrolit yang terionisasi dan ikatan hidrogen yang terjadi akan memfasilitasi pelarutan dari alkohol, aldehid, keton, dan amin (Lachman hal 175). Syarat air untuk injeksi menurut USP (Diktat Kuliah Teknologi Sediaan Steril Hal 149) :
• Harus dibuat segar dan bebas pirogen
• Tidak mengndung lebih dari 10 ppm dari total zat padat.
• pH antara 5-7
• tidak mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium dan amonium, karbondioksida, dan kandungan logam berat serta material organik (tanin, lignin), partikel berada pada batas yang diperbolehkan.

a. Air Pro Injeksi
Aqua bidest dengan pH tertentu, tidak mengandung logam berat (timbal, Besi, Tembaga), juga tidak boleh mengandung ion Ca, Cl, NO3, SO4, amonium, NO2, CO3. Harus steril dan penggunaan diatas 10 ml harus bebas pirogen (Rep. Tek Fa. Steril hal 4)
Aqua steril Pro Injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilisasi dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya (Monografi aqua p.i : FI IV hal. 112-113 )
Cara pembuatan : didihkan air selama 30 menit dihitung dari setelah air mendidih di atas api lalu didinginkan (Rep. Tek Fa. Steril)
Cara : Aqua p.i + karbon aktif 0,1% dari volume, dipanaskan 60-70oC selama 15 menit.
Tidak boleh menggunakan Aqua DM karena ada zat-zat organik yang tidak bermuatan dapat lolos, ditanggulangi dengan filtrasi karbon adsorben dan filtrasi bakteri
b. Air Pro Injeksi Bebas CO2
CO2 mampu menguraikan garam natrium dari senyawa organic seperti barbiturate dan sulfonamide kembali membentuk asam lemahnya yang mengendap.
Cara pembuatan : Mendidihkan air p.i selama 20-30 menit lalu dialiri gas nitrogen sambil didinginkan. (Rep. Tek Fa. Steril hal 4)
c. Air Pro Injeksi bebas O2
Dibuat dengan mendidihkan air p.i selama 20-30 menit dan pada saat pendinginannya dialiri gas nitrogen
Dipakai untuk melarutkan zat aktif yang mudah teroksidasi, seperti apomorfin, klorfeniramin, klorpromazin, ergometrin, ergotamine, metilergotamin, proklorperazin, promazin, promesatin HCl, sulfamidin, turbokurarin. (Rep. Tek Fa. Steril hal 4)

Pembawa Non Air
Pembawa non air digunakan jika (Rep. Tek Fa. Steril hal 5):
• Zat aktif tidak larut dalam air
• Zat aktif terurai dalam air
• Diinginkan kerja depo dalam sediaan
Syarat umum pembawa non air (Diktat Kuliah Teknologi Sediaan Steril Hal 149):
• Tidak toksik, tidak mengiritasi dan menyebabkan sensitisasi
• Dapat tersatukan dengan zat aktif
• Inert secara farmakologi
• Stabil dalam kondisi di mana sediaan tersebut biasa digunakan
• Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat disuntikan dengan mudah
• Harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar
• Mempunyai titik didih yang tinggi sehingga dapat dilakukan sterilisasi dengan panas
• Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh

E. Cara Perhitungan ( Benny Logawa, hal. 8)
• Tonisitas
1. Metode Turunnya Titik Beku
Dengan menggunakan persamaan :
W = Jumlah (g) bahan pembantu isotoni dalam 100 ml larutan
A = Turunnya titik beku air akibat zat terlarut, dihitung dengan memperbanyak nilai untuk larutan 1% b/v
B = Turunnya titik beku air yang dihasilkan oleh 1% b/v bahan pembantu isotoni
Atau jika konsentrasi tidak dinyatakan, a = 0


Keterangan :
Tb = turunnya titik beku larutan terhadap pelarut murninya
K = turunnya titik beku pelarut dalam MOLAR (konstanta Kryoskopik air = 1,86 yang menunjukkan turunnya titik beku 1 mol zat terlarut dalam 1000g cairan)
m = Zat yang ditimbang (g)
n = jumlah ion
M = berat molekul zat terlarut
L = massa pelarut (g)

2. Ekivalensi NaCl
Didefinisikan sebagai suatu faktor yang dikonversikan terhadap sejumlah tertentu zat terlarut terhadap jumlah NaCl yang memberikan efek osmotik yang sama. Misalnya ekivalensi NaCl asam borat 0,55 berarti 1 g asam borat di dalam larutan memberikan jumlah partikel yang sama dengan 0,55 g NaCl.
Metode WELLS :
Ket :
L = turunnya titik beku MOLAL
I = turunnya titik beku akibat zat terlarut (C)
C = Konsentrasi molal zat terlarut
Oleh karena itu zat aktif dengan tipe ionik yang sama dapat menyebabkan turunnya titik beku molal yang sama besar, maka Wells mengatasinya dengan menggolongkan zat-zat tersebut menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah ion yang dihasilkan. Lihat tabel III di Repetitorium Teknologi Sediaan Steril, hal. 15.

Metode lain :
E = ekivalensi NaCl
L = turunnya titik beku molal
M = berat molekul zat.

3. Metode Liso (Diktat Kuliah Steril hal 166, Lachman parenteral hal 209)
Bila tidak ada data E dan Tf dipustaka maka bisa digunakan metode ini untuk mencarinya.


Keterangan :
E = ekivalensi NaCl
Liso = harga tetapan; non elektrolit =1,86 ; elektrolit lemah =2 ; uni- univalen =3,4
M = berat molekul zat.


Rumus : Tf = Liso x Berat x 1000
BM x V


Keterangan :
Tf = penurunan titik beku
Liso = harga tetapan; non elektrolit =1,86 ; elektrolit lemah =2 ; uni- univalen =3,4
BM = berat molekul
V = volume larutan dlm ml
Berat = dalam gram zat terlarut

Daftar Liso
(Lachman Parenteral hal 211)

Tipe zat Liso Contoh
Non elektrolit 1.9 sucrosa
Weak elektrolit 2.0 phenobarbital
Divalent elektrolit 2.0 Zink sulfat
Univalent elektrolit 3.4 NaCl
Uni-Divalen elektrolit 4.3 Na sulfat
Di-Univalen elektrolit 4.8 Kalsium klorida
Uni-trivalen elektrolit 5.2 Na-fosfat
Tri-univalen elektrolit 6.0 Alumunium klorida






BAB II
PRAFORMULASI


II.1. Zat Aktif
a. Sifat Kimia
Nama : Cyanocobalamin
Sinonim : Vitamin B12
Rumus bangun :

Rumus molekul : C63H88CoN14O14P
BM : 1355,35
Kadar bahan aktif : tidak mengandung kurang dari 96% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan

b. Sifat Fisika
Pemerian : hablur atau serbuk hablur ; merah tua, tidak berbau . bentuk anhidrat sangat higroskopis.
Kelarutan : Kelarutanya 1:80 dalam air, 1:180 dalam alchohol 90% praktis tidak larut dalam aseton, kloroform dan eter.
Stabilitas : Pada suhu kamar, sianokobalamin paling stabil pada pH 4,5 – 5,0. Akan menjadi gelap pada suhu 210 – 220 oC ; menjadi hitam tanpa melebur pada suhu 300 oC. Dalam larutan asam, akan terjadi siklisasi amida meghasilkan γ-lakton pada cincin B. Hidrolisis dengan 1 sampai 7 gugus karboksil. Nukleotida dapat juga disingkirkan pada kondisi asam. Pada kondisi basa, siklisasi amida terjadi dengan menghasilkan fusi laktam pada cincin B. Asam karboksilat dapat juga terbentuk. Sianokobalamin bersifat fotosensitif. Dengan adanya cahaya, ikatan organometalik akan pecah. Adanya radiasi menurunkan sianokobalamin dalam larutan sebanding dengan dosis radiasi. Laju degradasi dalam larutan akan meningkat dengan penambahan akasia, aldehida, asam askorbat, tembaga, ferro glukona, nikotamida, niasinamida, tiamin, bahan tambahan bau dan bahan pereduksi.
Pada larurtan yang mengandung thiamine hydrochloride, cyanocobalamin dan derivat lain dari vitamin b kompleks menggangu produk dari thiamine hydrochloride menyebabkan cepat hancurnya cyanocobalamin. Rendahnya konsentrasi dari ion besi melindungi cyanocobalamin melawan efek gangguan produk tanpa jelas mempengaruhi thiamine , cyanocobalamin sendiri yang stabil di larutan ketika terkena cahaya, penghancur menyebabkan efek buatan terjadi pada riboflavin. Fotolisis cyanocobalamin meningkat dengan adanya nicotinamid dan dihambat dengan antioksidan ethyl hydrocaffeate dan thiourea.
Untuk sebuah ulasan mengenai kemampuan stabil dan kestabilan cyanocobalamin pada injeksi vitamin B kompleks mengandung thiamin dan nicotinamida.
Bentuk yang ada : Kristal higroskopik. Juga tersedia untuk penggunaan klinis dan dalam bentuk tablet dan kapsul multivitamin, dan dalam larutan injeksi.

c. Sifat farmakologis :
Indikasi : Cyanocobalamin diindikasikan untuk kekurangan vitamin B12 karena malabsorpsi yang dapat dikaitkan dengan ketentuan sebagai berikut: Addisonian anemia pernisiosa penyakit Gastrointestinal, disfungsi, atau operasi, termasuk gluten Enteropati atau sariawan, bakteri usus kecil berlebih, total atau parsial gastrektomi. Cacing pita pada ikan, keganasan pankreas atau usus, kekurangan asam folat, dimungkinkan untuk mengobati penyakit yang mendasari bedah koreksi anatomi lesi menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan bakteri usus kecil, pengusiran cacing pita pada ikan, penghentian obat menuju vitamin malabsorpsi, penggunaan diet bebas gluten dalam sariawan nontropical, atau administrasi antibiotik sariawan tropis.
Kontra Indikasi : Kepekaan terhadap kobalt dan / atau vitamin B12
Efek Samping : Mild diare, gatal, sementara perasaan hangat dan nyeri di tempat suntikan dapat terjadi. Jika salah satu efek ini berlanjut atau menjadi menyusahkan,
Perhatian : Pasien dengan penyakit Leber awal (penurunan atrofi saraf optik) yang cyanocobalamin menderita ditangani dengan cepat parah dan atrofi optik. Hipokalemia dan kematian mendadak dapat terjadi pada anemia megaloblastik yang parah diperlakukan sangat. Anaphylactic shock dan kematian telah dilaporkan setelah parenteral vitamin B12 administrasi. Sebuah tes intradermal dosis dianjurkan sebelum Cyanocobalamin Injection, USP ini diberikan kepada pasien yang diduga menjadi sensitif terhadap obat ini. Produk ini mengandung Benzil Alkohol. Benzil Alkohol telah dilaporkan terkait dengan fatal "Sambil terengah-engah Syndrome" pada bayi prematur. Produk ini mengandung aluminium yang mungkin beracun. Aluminium dapat mencapai beracun tingkat administrasi yang berkepanjangan parenteral jika fungsi ginjal terganggu. Neonatus prematur sangat beresiko karena ginjal mereka belum matang, dan mereka membutuhkan sejumlah besar kalsium dan fosfat solusi, yang berisi aluminium.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan fungsi ginjal, termasuk prematur neonatus, yang menerima kadar aluminium parenteral lebih besar daripada 4-5 mcg / kg / hari aluminium pada tingkat yang menumpuk berhubungan dengan sistem saraf pusat dan tulang toksisitas. Jaringan loading bahkan bisa terjadi pada tingkat administrasi yang lebih rendah.
Dosis Lazim : 1 – 2 kali sehari 100 mcg
Penyimpanan : Obat-obatan ini harus disimpan di tempat yang sejuk, daerah kering terhindar dari cahaya langsung. Jangan simpan di kamar mandi.

II.2 Bahan Tambahan

II.2.1. Natrii kloridum
• Sinonim : Sodium Chloride
• Rumus molekul : NaCl
• BM : 58.44
• Organoleptis : Serbuk kristal putih, tidak bewarna, mempunyai rasa
garam (asin)
• pH : 6.7 – 7.3
• Kelarutan : Sedikit larut dalam etanol, larut dalam 250 bagian etanol 95%; larut dalam 10 bagian gliserin; larut dalam 2,8 bagian air dan 2,6 bagian air pada suhu 100oC
• Fungsi : Bahan pengatur tonisitas : sumber ion natrium
• OTT : Larutan natrium klorida bersifat korosif dengan besi :
membentuk endapan bila bereaksi dengan perak : garam merkuri : agen oksidasi kuat pembebas klorine dari larutan asam sodium klorida ; kelarutan pengawet nipagin menurun dalam larutan sodium kloride.
• Titik didih : 1439 oC
• Titik lebur : 801 oC
• Stabilitas : Larutan sodium klorida stabil tetapi dapat menyebabkan perpecahan partikel kaca dari tipe tertentu wadah kaca. Larutan steril ini dapat disterilisasi dengan autoklaf atau filtrasi dalam bentuk padatan stabil yang harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, sejuk dan tempat kering.

II.2.2. Aqua Pro Injeksi
• Pemerian : Cairan jernih atau tidak bewarna, tidak berbau dan tidak berasa
• Kelarutan : Dapat bercampur dengan pelarut polar dan elektrolit
• Fungsi : Sebagai bahan pembawa sediaan intravena
• OTT : Dalam sediaan farmasi, air dapat beraksi dengan obat dan zat
tambahan lainnya yang mudah terhidrolisis (mudah terurai dengan adanya atau kelembaban). Air dapat bereaksi kuat & cepat dengan logam alkali dan zat pengoksidanya seperti kalsium oksidan Magnesium oksida, air juga bereaksi dengan bahan organik.
• Stabilitas : Air stabil dalam setiap keadaan (es;cairan;uap panas). Air untuk
penggunaan khusus harus disimpan dalam wadah yang sesuai.
• Pembuatan : Aqua destilata dipanaskan sampai mendidih kemudian
dipanaskan 20 menit terbentuklah API.















BAB III
Rekomendasi
Rangkuman Hasil Pengkajian Pra-Formulasi

No Masalah Diinginkan Pemecahan Pemilihan Alasan
1. Zat aktif
Vitamin B12
larut dalam air, Membuat sediaan yang cocok untuk stabilitas zat aktif • Sedian Parenteral Volume Kecil (injeksi)
• Sedian Parenteral Volme Besar (infus) Sedian Parenteral Volume Kecil (injeksi)
Karena SPVK/ injeksi harus bebas mikroba sehingga dapat terjaga stabilitas sediaannya

2.
Zat aktif dibuat sediaan parenteral Pemberian harus dilakukan secara tepat, sehingga tidak menimbulkan efek samping Alternatif pemberian sediaan :
• Sc
• Im
• Iv Im Karena bersifat asam, maka diberikan secara im, bila diberikan secara iv akan menyebabkan reaksi syok anafilaksis
3 Zat aktif mudah teroksidasi Sediaan stabil dalam penyimpanan • Zat antioksidan
• Dialiri gas inert (N2)
• Air bebas O2
Air bebas O2
Karena tidak OTT dengan komponen sediaan dan mudah didapat

4 Pelarut yang digunakan untuk melarutkan zat aktif Digunakan pelarut yang paling aman dan mudah didapat • Aqua pro injeksi
• Etanol
• minyak Aqua pro injeksi Zat aktif mudah larut dalam air

5 Zat/sediaan dikhawatirkan terkontaminasi oleh mikroba atau adanya pirogen Sediaan steril terhindar dari mikroba/pirogen Dilakukan proses sterilisasi
• sterilisasi aseptis
• sterilisasi autoklaf (akhir) Sterilisasi Akhir Karena zat aktif tahan pemanasan

6 Sediaan tidak stabil terhadap cahaya Sediaan stabil selama penyimpanan Diberi wadah yang cocok
• wadah terang
• wadah gelap Wadah terang

7 Penandaan berdasarkan golongan obat bermacam-macam
Penandaan golongan yang sesuai sebagai petunjuk penggunaan konsumen




= Obat keras



= Obat bebas terbatas



= Obat bebas

= Obat keras





Karena penggunaan sediaan injeksi harus dengan resep dokter dan perlu dilakukan oleh tenaga ahli medis



















BAB IV
Spesifikasi dan Syarat yang Diinginkan

Rancangan Produk
1 Nama Produk Cyano injection
2 Nama Sediaan Jadi Injeksi Cyanocobalamin
3 Nama Bahan Aktif Cyanocobalamin
4 Bentuk Sediaan Injeksi
5 Nama Sediaan Dasar Cyanocobalamin
6 Dosis Lazim 1 – 2 kali sehari 100 mcg
NILAI SYARAT RUJUKAN
7 Kadar Bahan Aktif Mengandung tidak kurang dari 96% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan FI 3
8




9 Pemerian :
Bentuk
Serbuk FI 3
Warna Merah FI 3
Bau Tidak berbau FI 3
Rasa - Martindal
Kelarutan :
 Dalam Air
 Dalam Etanol
 Dalam Asam mineral encer
 Dalam Alkali
Hidroksida
 Dalam Eter
 Dalam Kloroform
 Dalam aseton
 Minyak lemak Agak sukar larut
-
-


-


Larut
Larut
Larut FI 3





FI 3
FI 3
FI 3
10 Wadah dan
Penyimpanan
Wadah Pada ampul bening FI 3
Penyimpanan Telindung dari cahaya FI 3
FI 3






















BAB V
METODE PRAKTIKUM

Injeksi Pelarut Air

a. Data Zat Aktif : Vitamin B12 ( Sianokobalamin )

Nama Obat Dosis Lazim Kelarutan pH Jenis Sterilisasi Khasiat
Sianokobalamin Im
1 x = 1 mg Agak Sukar larut dalam air dan dalam etanol (95%); Praktis tidak larut dalam Kloroform, aseton dan eter 4,5 – 5,5 Sterilisasi Akhir
(Autoklaf) Defisiensi Vit. B12, Anemia permisosa

b. Formula Standar
Diperoleh dari Formularium Nasional Edisi Kedua Th. 1978 hal. 88
CYANOCOBALAMINI INJECTIO
INJEKSI Vitamin B12
Komposisi. Tiap ml mengandung :
Cyanocobalaminum 1 mg
Aqua pro injectione hingga 1 ml
Penyimpanan. Dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda,
terlindung dari cahaya.
Catatan. :
1. Pada pembuatan ditambahkan Asam asetat atau Asam Klorida encer secukpnya hingga pH lebih kurang 4,5
2. Dapat juga digunakan Natrium Dihidrogenfosfat.
3. Ditambahkan Natrium Klorida secukupnya
4. Dapat ditambah Fenilraksa II Nitrat 0.001 % b/v atau Benzil alcohol 1% b/v
5. Disterilkan dengan Cara Sterilisasi A, B atau C.
6. Sediaan berkekuatan lain : 500 µg.

c. Tak Tersatukan Zat Aktif (OTT)
• Dalam agen pengoksidasi dan agen pereduksi dengan garam logam berat (kompleks ion-dekstran)
• Terinkompatibel dengan 10 mg Warfarin Sodium dalam 100ml Injeks Dextrose
• Aktivitas berkurang jika dtambahkan Vit. C, Dextrose, Phytomenadion.
• Fotolisis vitamin B12 dipercepat dengan Nikotinamide dan dihambat oleh Antioksidan Ethylhydrocaffeate
• Metformin mengurangi absorpsi Vitamin B12

d. Usul Penyempurnaan Sediaan
Menggunakan ampul bening guna menghindari kontak zat aktif dengan logam berat yang ada pada ampul coklat

e. Alat dan Cara Sterilisasinya

No. Nama Alat Jumlah Cara sterilisasi Waktu
1. Sendok perselen 1 Oven 170oC 30 menit
2. Spatel logam 1 Oven 170oC 30 menit
3 Pinset logam 1 Oven 170oC 30 menit
4 Batang pengaduk gelas 1 Oven 170oC 30 menit
5. Erlenmeyer 2 Oven 170oC 30 menit
6. Gelas ukur 2 Autoklaf 115oC 30 menit
7. Pipet tetes tanpa karet 1 Autoklaf 115oC 30 menit
8. Karet pipet 1 rebus 30 menit
9. Corong gelas 1 Autoklaf 115oC 30 menit
10. Jarum suntik 1 Autoklaf 115oC 30 menit
11. Ampul 3 Oven 170oC 30 menit
12. Kertas saring lipat 1 Autoklaf 115oC 30 menit

f. Formula Akhir
R/ Sianokobalamin 1 mg
NaCl qs
API ad 1 ml

g. Perhitungan Bahan
- Perhitungan Tonisitas
Cyanocobalamin adalah non elektrolit Liso = 1,9
Isotonis dengan NaCl
E = 17 Liso
BM
E = 17 . 1,9
1355,35
E = 0.0238

Vitamin B12 1mg E = 0,0238
Cyanocobalamin 1 mg = 0.001 g x 0.0238 = 0.0238.10-3

Kekurangan NaCl
= 0.9 % x 1 ml – 0.0238 .10-3
= 8.9762.10-3 mg
= 0.0089 gram = 0.9 mg NaCl
Vial
Volume total = (n+2) v + (2.3)
= (3+2) (1,1) + 6
= 5,6 + 6
= 11.6 ml ≈ 20 ml

Penimbangan Bahan
- Cyanocobalamin = 1 mg x 20 mg = 20 mg
- NaCl = 8.9 x 20 mg = 17,8 mg
Ad aquadest 20 ml.

h. Etiket






i. Pembuatan Prosedur Kerja

1 Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
2 Api (Air Pro Injeksi) disiapkan ; aquadest di didihkan, setelah dipanaskan selama 30 menit, untuk Api bebas O2 : Dipanaskan ditambahkan 10 menit kemudian di dinginkan (dilakukan di white area)
3 Ditimbang Vitamin B12 dengan kaca arloji bersih menggunakan neraca analitik, (dilakukan pada grey area)
4 Mengumpulkan bahan yang ditimbang dan alat – alat yang diperlukan selama pembuatan ke dalam keranjang, untuk kemudian di pindahkan ke white area melalui passbox
5 Keranjang perlengkapan diambil dari grey area ke white area melalui passbox
6 Ambil API secukupnya.
7 Vitamin B12 dilarutkan pada kaca arloji, lalu dimasukkan ke dalam gelas piala. Kaca arloji kemudian dibilas dua kali dengan sedikit API.
8 Kemudian NaCl dilarutkan dengan API dimasukkan ke dalam gelas piala. Kaca arloji kemudian dibilas dua kali dengan sedikit API.
9 Larutan zat dituangkan ke dalam gelas ukur, catat volume larutan. Adkan dengan air bilasan sampai tepat 15 ml.
10 Basahi kertas saring lipat yang akan digunakan dengan menggunakan API di atas erlenmeyer kosong.
11 Pindahkan corong beserta kertas saring ke erlenmeyer lain yang bersih dan kering.
12 Saring larutan dalam gelas ukur melalui corong ke dalam Erlenmeyer yang telah disiapkan.
13 Periksa pH dan karena pH belum sesuai maka dilakukan adjust pH dengan HCl 0,1 M dan NaOH 0,1 M sampai diperoleh pH 5 (rentang 4.5 – 5.5).
14 Sisa 5 ml digunakan untuk membilas gelas piala berulang kali, ditampung dalam gelas ukur kemudian disaring ke dalam Erlenmeyer yang berisi filtrate larutan 15 ml. Homogenkan.
15 Isikan larutan sebanayak @ 1,1 ml ke dalam wadah dengan menggunakan spuit.
16 Tutup ampul dengan alumunium voil.
17 Disiapkan gelas beker glass kecil, ampul dimasukkan ke dalam gelas beker.
18 Disterilisasi dengan autoklaf pada temperatur 115 – 116 oC selama 30 menit, pada praktikum dispensasi disterilisasi dengan autoklaf selama 10 menit.




BAB VI
HASIL PENGAMATAN DAN EVALUASI

Hasil Pengamatan :
Setelah dilakukan pengamatan terhadap hasil praktikum, diperoleh data sediaan berupa larutan yang homogen, jernih, dan berwarna orens. Warna Orens yang diperoleh karena bahan aktifnya (Sianokobalamin) berwarna orens sampai merah bata.

Evaluasi :

1. Evaluasi terhadap kelarutan sediaan akhir.
 Larutan yang dihasilkan larut dengan homongen ditandai dengan tidak adanya pertikel-partikel kasar pada sediaan akhir.

2. Evaluasi terhadap volume akhir.
 Larutan yang ada pada sediaan ada tidak mengalami pengurangan volume setelah disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 115 – 116o C selama 10 menit. Volume awal sebelum disterilisasi = 1,1 ml dan volume akhir setelah disterilisasi = tetap 1,1 ml.











BAB VII
PEMBAHASAN

Pada praktikum Teknologi Sediaan Steril ini, kelompok kami membuat Injeksi Vitamin B12 atau Injeksi Sianokobalamin. Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir.
Vitamin B12 adalah salah satu dari vitamin B kompleks. Memiliki bentuk fisik berupa hablur atau serbuk hablur, berwarna orens sampai merah tua, tidak berbau. Dan bentuk anhidratnya sangat higroskopis.
Proses pembuatannya dimulai dengan persiapan alat dan bahan, lalu dilakukan penimbangan semua bahan. Lalu bahan aktif (Vitamin B12) dilarutkan dengan API secukupnya kemudian dimasukkan ke dalam beakerglass. Lalu NaCl juga dilarutkan dengan menggunakan API kemudian dimasukkan beakerglass lalu dihomogenkan. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam gelas ukur lalu ditambahkan API yang digunakan untuk membilas beakerglass tersebut sampai diperoleh volume 15 ml (intermediate add).
Di tempat lain kertas saring yang dipasangkan pada corong di atas erlenmeyer dibasahkan dengan API secukupnya. Lalu larutan tadi disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah dibasahi kemudian ditampung pada erlenmeyer yang lain. Larutan yang sudah jadi dicek pH-nya. Kemudian karena pH yang diperoleh belum sesuai maka kemudain diadjust dengan HCl dan NaOH sampai pH yang diperoleh sesuai (rentang 4,5 sampai 5,5). Lalu API sisanya (5 ml) diambil dengan gelas ukur lalu digunakan untuk membilas peralatan yang tadi dipakai (bekerglass, kertas saring dan corong). Sediaan yang sudah jadi di dalam erlenmeyer kemudian dimasukkan ke dalam 3 buah ampul menggunakan spuit. Masing-masing diambil 1,1 ml lalu segera dimasukkan ke dalam ampul.
Lalu karena alat penutup ampulnya sedang rusak maka ampul ditutup dengan menggunakan aluminium foil. Kemudian peralatan dirapikan dan dibawa kembali ke grey area melalui passbox. Ampul yang telah berisi injeksi Vitamin B12 disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 115-116oC selama 10 menit (dispensasi seharusnya 30 menit).
Lalu terakhir dilakukan evaluasi sediaan akhir. Langkah awal dievaluasi kelarutannya. Yaitu larutan dilihat secara langsung, yaitu dapat dinyatakan larut karena pada larutan yang terbentuk tidak terdapat partikel-partikel pada larutan dan larutan yang terbentuk adalah jernih.
Uji lain yang dilakukan adalah uji perubahan volume. Yaitu volume awal sebelum disterilisasi dengan menggunakan autoklaf dicatat kemudian volumenya dibandingkan dengan volume akhir setelah disterilisasi dengan menggunakan autoklaf. Pada evaluasi ini larutan pada ampul sebelum dan setelah disterilisasi volumenya tetap yaitu 1,1 ml.

















BAB III
KESIMPULAN

• Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. ( FI III, hal 13 )
• Vitamin B12 adalah termasuk salah satu dari komponen vitamin B kompleks. Memiliki sifat fisik berupa hablur atau serbuk hablur ; orens sampai merah tua, tidak berbau . Bentuk anhidratnya sangat higroskopis. Cyanocobalamin diindikasikan untuk kekurangan vitamin B12 karena malabsorpsi
• Volume yang dimasukkan ke dalam ampul adalah 1,1 ml yaitu dari volume awal yang seharusnya 1 ml lalu ditambahkan dengan volume tepindahkan sebanyak 0,1 ml maka menjadi 1,1 ml.
• Setelah dilakukan evaluasi terhadap kelarutan sediaan akhir diketahui bahwa larutan yang dihasilkan larut dengan homongen ditandai dengan tidak adanya pertikel-partikel kasar pada sediaan akhir.
• Setelah dilakukan evaluasi terhadap volume akhir sediaan tidak mengalami pengurangan volume setelah disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 115 – 116o C selama 10 menit. Volume awal sebelum disterilisasi = 1,1 ml dan volume akhir setelah disterilisasi = tetap 1,1 ml.






DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, 1979. Farmakope Indonesia, edisi III, Jakarta.
2. Departemen kesehatan RI, 1995. Farmakope Indonesia, edisi IV, Jakarta.
3. Martindale, The Extra Pharmacopeia Twenty-eight Edition. The Parmaceutical Press, London. 1982.
4. LACHMAN, Leon. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1989.
5. ANSEL, Howard C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),1989.
6. ISO Indonesia. Jakarta: PT Anem Kosong Anem (AKA), 1979.
7. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Jakarta: PT Infomaster.
8. ANIEF, Moh. Ilmu Meracik Obat, teori dan praktek. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar